Dinsdag 02 April 2013



Adat istiadat yang sering dikenal dengan sebutan Budaya berlangsung terus terjadi ditengah-tengah masyarakat. Adat dan Budaya yang telah berlaku tidak ada yang boleh melanggarnya, bila dilanggarkan akan mendapatkan hukum sosial dari masyarakat. Adat istiadat lebih dekat dengan hukum atau norma, sedangkan budaya lebih pada kebiasaan dalam sebuah Bangsa. Meskipun demikian, Adat dan Budaya dua hal yang tidak bisa dipisahkan berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Adat istiadat dan budaya itu menjadi lentera kehidupan yang bisa menerangi tatanan kehidupan ekonomi sosial politik suatu Bangsa. Tanpa adat atau budaya suatu Bangsa akan kehilangan identitasnya, gelap tanpa ada yang menerangi dalam sisi kebiasaan yang berlaku. Budaya dan adat sangat melekat terus berkembang dalam suatu tatanan kehidupan sosial masyarakat.
Gadoh Aneuk Meupat Jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita. Pepatah itulah yang selalu harus diingat oleh seluruh lapisan masyarakat. Bila suatu hari nanti adat dan budaya itu terkikis akibat terjadi pergeseren moral, akan sangat berakibat fatal hilangnya Local Wisdom yang ada dalam masyarakat. Aceh akan tenggelam dengan budaya-budaya luar yang sangat gencar terkampanyekan baik melalui Telivisi, Internet maupun media Informasi Teknologi lainnya.
Globalisasi telah meruntuhkan norma-norma lokal yang ada dalam sebuah daerah. Informasi teknologi juga sangat berpengaruh terjadinya pergesaran budaya suatu Bangsa. Katakanlah misalnya Aceh dimasa lalu sangat dikenal dengan Gotong Royong dan peka terhadap kondisi sosial di sekelilingnya. Namun, pasca tsunami melanda Aceh dan arus globalisasi masuk, demikian juga dengan Informasi Teknologi tak dapat dibendung, telah menggeserkan sikap apatisme masyarakat. Sehingga masyarakat terjebak dengan sikap individualistik sedangkan kolektivitas mulai ditinggalkan.
Contoh nyata lainnya dalam hal bekerja sosial seperti gotong royong. Kebiasaan gorong royong tersebut saat ini, khususnya di wilayah perkotaan mulai ditinggalkan. Hal ini menunjukkan bahwa karakter masyarakat yang individualistik, jadi budaya kebersamaan tergilas dengan budaya-budaya yang hanya mementingkan personaliti.
Semakin nyata budaya kebersamaan ditinggalkan saat program Cash for Work (Kerja di Bayar) telah melunturkan norma bekerja sosial. Membersihkan selokan gampong sendiri pun harus dibayar. Jauh berbeda perbedaan dimasa lampau yang masih memiliki sikap sosial dengan suka rela membersihkan sendiri secara berkelompok dengan bergotong royong.
Ini juga bagian kecil terjadi pergeseran budaya yang sedang melanda Aceh secara umum. Bila terus dibiarkan tanpa ada upaya untuk mencegahnya. Maka jangan heran nantinya anak cucu kedepan akan hilang identitas jati diri Aceh yang terkenal dengan sikap yang ramah serta senang memuliakan tamu.
Sikap senang melayani tamu sebenarnya menjadi modal besar bagi Aceh bila Pemerintah mampu mengembangkannya. Pasalnya, Aceh yang memiliki banyak sumber wisata bisa dikembangkan untuk mewujudkan Aceh pusat wisata dunia. Sehingga Aceh akan dilirik oleh turis mancanegara dan mereka pun akan mengunjungi Aceh.
Lihat saja pemandangan yang dimiliki oleh Aceh Selatan. Adat istiadat serta kerajinan khas Aceh Selatan yang beragam bisa diwujudkan untuk menjadi Edutourism, Ecotourism dan juga wisata adat yang masih dilestarikan di Aceh Selatan. Sangat besar potensi Alam yang dimiliki, tetapi kembali pada Pemerintah yang belum maksimal memperhatikannya.
Demikian juga sejumlah tempat wisata dan adat istiadat lainnya yang mesti harus digali kembali. Kenapa demikian? Wisatawan yang akan mengunjungi suatu daerah ingin menyaksikan sesuatu yang asli dan khas disuatu Bangsa, bukan sesuatu yang dimodernisasi. Oleh karenanya, Aceh memiliki itu semua untuk bisa dikembangkan dan ditata baik kesiapan manusianya maupun infrastruktur lainnya.
Tidak cukup hanya itu, perangkat hukum mesti juga dirangcang yang harus melindungi budaya lokal. Karena selama ini setiap regulasi yang dibuat oleh Pemerintah terkesan selalu lebih menguntungkan Asing atau sering disebut dalam istilah ekonomi adalah berpihak pada kepenitingan Kapitalisme.
Kenapa demikian? Edutourism, Ecotourism dan Wisata Adat dan Budaya sangat melekat dengan berkembangnya perekonomian. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan akan terus berkembang dan bila Pemerintah tidak melakukan proteksi dengan regulasi ditakutkan nanti akan terjadi Liberalisasi. Akhirnya budaya luar yang diadopsi oleh Aceh, sedangkan budaya lokal terkikis akibat dari kelengahan Pemerintah itu sendiri.


Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking